Saturday, October 11, 2014

Pict.2 (Backpacker Sukabumi) 30 Meter Dalam Perut Bumi - Goa Buniayu, Sukabumi


































Sunday, September 14, 2014

Puitis dulu kali2

Lama dia menunggu ditepian sudutnya,
Menanti bukanlah hal yang disukai,
Tapi merindu adalah candu untuknya,
Rindu membuat ia tersenyum, bahagia, hidup sekaligus berlinang air mata, sedih, bahkan sesekali ingin mati,
Namun karena kenikmatan rindu hanya ada sebelum perjumpaan dan pudar setelah berjumpa,
Maka demi rindu yang sedemikian indah dan memabukkan,
Ketimbang bertanya, ia berujar dalam hati 'aku rindu '

bila mencintaimu begitu mudah dan indah,
akankah langit berwarna pelangi?,
merdu kah gesekan dahan sepi?,
surga kah dunia saat ini?,
sepertinya aku tak lagi peduli,
kau bersemayam di dada bening ini,
dengan jarak lebih dekat dari nadiku sendiri,
menembus tabir siang dan malam,
berbisik pasti 'aku cinta kamu'..

(4mSDM)

Friday, June 13, 2014

KENAPA BANYAK PENGGIAT ALAM TERSESAT DI GUNUNG?




Mie instan bukan untuk bekal naik gunung yang waktu sampai berhari-hari

Mi instan sangat cepat menarik cairan tubuh. Padahal, pendaki gunung harus mengirit air yang ada di dalam tubuhnya. Akibat kekurangan cairan, pendaki kerap menjadi kehilangan cara berpikir dan salah mengambil keputusan hingga menyebabkan pendaki-pendaki tersesat. Produk mi instan memang tidak salah, tetapi manusia dalam hal ini pendaki gunung sendirilah yang salah memanfaatkan produk tersebut : (dokter Chicho, ahli bedah mayat)

Karena asyiknya bergelut dengan masalah kecelakaan gunung ini, dokter yang kelahiran Jakarta ini mengatakan, siapa pun akan mengakui bahwa tim Search and Rescue (SAR) Indonesia punya kemampuan menemukan korban-korban di gunung, baik yang masih hidup maupun yang tewas. Namun, setelah korban ditemukan, mereka bingung menghadapi korban ini. Bahkan, luka-luka pun sering diabaikan.

KEPADA para pendaki Indonesia, Cico yang baru saja merampungkan pelatihan di Miami, Amerika Serikat, untuk membuat standardisasi pertolongan pertama kecelakaan gunung ini kerap mengingatkan, jika tersesat di gunung, yang dibutuhkan bukan hanya makanan, tetapi juga KETENANGAN, PERTIMBANGKAN STAMINA, dan BERFIKIR JERNIH.

Cico menjelaskan, kita boleh nyasar, sebab dengan tersesat akan menambah pengalaman. Lalu, menembus jalan sesat itu harus dilakukan, sebab kita mempunyai pengetahuan dan keterampilan. Namun, mati jangan sampai, sebelum kita memanfaatkan akal pengetahuan dan keterampilan kita. “Jadi, begitu hilang, pendaki gunung seharusnya memiliki tekad dasar berupa kemauan untuk hidup, bukan sekadar tekad bagaimana meloloskan diri dari lubang ketersesatan,” ujarnya.

Ia mencatat, hampir 80 persen pencinta alam mati di gunung dalam posisi istirahat. Karena sewaktu lelah, pendaki itu tidur dengan badan yang tidak terisolasi dan cuaca sekeliling lebih rendah. Akhirnya, cuaca itu mempengaruhi suhu tubuh hingga menyebabkan tingkat kesadaran menurun drastis. Lalu, beristirahat selamanya. Mati.

Kelemahan pendaki gunung Indonesia adalah sikap kurang koreksi diri terhadap kecelakaan sekecil apa pun. Mereka sering memandang diri sebagai orang kuat. Contoh paling gampang, kalau kita bermain di air.  Sejago apa pun kita berenang, alat pelindung tetap harus digunakan. Begitu pula pendaki yang kerap naik-turun gunung. “Matinya sepele, akibat lelah, dia nyasar sampai kedinginan,” ujar pengamat kecelakaan gunung ini. Model yang kerap dipakai, jelasnya, adalah jika cedera, kita masih mengatakan untung tidak mati.

SEKITAR 90 persen, kata Cico, kecelakaan gunung itu disebabkan oleh kurangnya sikap antisipasi pendaki. Sebagai kaum muda, kita sulit membedakan antara antusiasme dan keselamatan. Kedua faktor ini memiliki garis tipis sekali. Antusias berarti keinginan melakukan kegiatan di alam bebas, tanpa memperhatikan lagi faktor keselamatan. Sedangkan, keselamatan jiwa yang seharusnya diperjuangkan dalam kegiatan pendakian justru dianggap remeh.

Hal itu pun dialaminya sendiri, ketika Cico dinyatakan hilang sedikitnya tiga kali berturut-turut di gunung yang berbeda di Jawa Tengah. “Setahun sekali hilang,” ujar Cico, yang baru saja mengadakan studi banding di negara-negara ASEAN.

Tahun 1977, Cico dinyatakan hilang di Gunung Ungaran. Gara-gara ingin mencari air untuk menolong teman-temannya, Cico yang waktu itu juga sudah merasa lelah, tiba-tiba terpeleset hingga terperosok ke jurang. “Untung, waktu itu nyangsang di pepohonan, meskipun sempat tidak sadarkan diri,” kenang Cico, begitu sadar dan beristirahat sebentar, Cico berhasil menemukan senternya. Kemudian, dia ingat teori pendakian yang diajarkan di kampus. Ia tidak lekas turun, melainkan kembali mendaki untuk mencari tanah lapang agar mudah memperoleh orientasi langkah selanjutnya. Kemudian, nyala lampu senternya “dimainkan” untuk menunjukkan kepada penduduk sekitar bahwa dirinya butuh pertolongan. Lagi-lagi dia beruntung. Sewaktu mengirim sinyal lampu senter, rombongan Pramuka mampu membacanya dan segera memberikan pertolongan. “Maka selamatlah saya,” ujarnya.

Pada tahun 1978, Cico pun hilang selama lima hari di Gunung Sumbing. Waktu itu, Cico bersama kawan-kawannya naik dari daerah Garum dan berencana turun melalui Bangsri. Sebagai pemula, ia mengakui, kehilangannya itu akibat ulahnya sendiri. Ia tersesat sendirian ketika hendak menyusul kawan-kawannya yang sudah mendaki lebih dulu.

Karena sendirian, kata Cico, bekal makanan diirit-irit dalam pendakian itu. “Saya hanya makan pakis, umbi-umbian, dan akar alang-alang. Minumnya, saya menggunakan kain kasa steril dan sapu tangan yang sudah diletakkan di atas rerumputan,” jelas Cico. Namun, ia tak lupa meninggalkan tanda-tanda dengan menggunakan batu atau tumbuh-tumbuhan setiap melalui jalan pendakian itu. Harapannya, ada tim SAR atau orang yang tetap mencarinya.

Tahun berikutnya, Cico hilang di Gunung Ciremai selama tiga hari tiga malam. Waktu itu, Cico mendaki bersama empat kawannya. Usai pendakian, mereka tersesat. Cico mengingatkan, sebaiknya kita kembali naik, agar bisa memiliki orientasi lapangan. “Tetapi, teman-teman saya bilang, ah… tanggung, kita jalan turun terus saja. Jalan menurun itu pasti ke desa,” kata Cico menirukan omongan teman-temannya. Ternyata, betul dugaan Cico. Jalan menurun belum tentu menuju desa, tetapi justru menyebabkan kita terjebak di lembah. Mereka tersesat di lembah tak berujung yang sulit untuk melakukan orientasi.

Karena sudah larut malam, mereka pun akhirnya mendekam di lembah itu. Pagi harinya, mereka kembali mendaki untuk mencari dataran tinggi. Dari sanalah, Cico melihat petak sawah yang tentu mengindikasikan adanya kehidupan. Lalu, ia mengukur dengan kompas dan alat pengukur ketinggian seadanya, barulah melangkah.


dokter Chicho

Mendaki gunung merambah hutan memang mengasyikkan dan menimbulkan kepuasan sendiri. Hijaunya pemandangan alam yang masih segar dan perawan tentu akan menjadi pengalaman hidup tak terlupakan.

Namun, untuk bisa mencapai puncak keindahan tersebut, para penggiat alam haruslah siap segalanya. Termasuk kemungkinan bisa tersesat.

Menjadi seorang survivor dan bertahan hidup di hutan serta mengolah makanan apa adanya adalah hal yang harus dilakukan hingga tim penolong datang menjemput. Berikut tips yang harus kamu lakukan saat tersesat di gunung :

A. Sit (Duduk)
Seorang pendaki tentu akan merasa panik saat mengetahui dirinya tersesat dan tak tahu jalur pendakian. Kondisi ini biasa dirasakan saat hari mulai gelap dan muncul keputusasaan untuk mencari jalur awal pendakian. Berpikirlah secara tenang dan istirahatkan tubuh anda dengan cara duduk atau makan dan minum.

B. Thinking (Berfikir)
Berfikir jernih sangat diperlukan untuk menyelamatkan diri anda ataupun tim agar dapat meloloskan diri dari jalur yang salah. Coba fikirkan apa yang menyebabkan anda tersesat serta hindari segala keegoisan dan keapatisan terutama saat berada dalam tim.

C. Observe (Observasi)
Lakukan observasi di daerah sekitar serta Periksa persediaan makanan dan air yang ada serta perhitungkan secara matang untuk bisa digunakan bertahan. Kondisi tubuh dan tim juga harus dipertimbangkan sebaik mungkin.

D. Planning (Perencanaan)
Atur rencana dan Pertimbangkan secara matang agar tidak terjadi kesalahan dan berpengaruh pada keselamatan anda ataupun tim.

E. Terus naik menuju ke atas (dataran tinggi)
Gunung memiliki bagian atas yang lebih sempit dibandingkan di bawah. Sehingga bila anda tersesat dan terus naik ke atas, daerah akan semakin sempit sehingga mempermudah pencarian jalur yang benar. Semua jalur pendakian akan bertemu di puncak sehingga dapat menemukan jalur yang anda inginkan untuk turun.

F. Gunakan penanda
Pasanglah tanda dipersimpangan yang membingungkan. Jadi, Jika ternyata jalur yang anda pilih salah maka anda dapat kembali ke persimpangan awal dengan berpatokan pada tanda-tanda yang tadi sudah anda pasang. Hal ini untuk mencegah agar anda tidak “tersesat setelah tersesat”.

G. Berhati-hatilah saat turun dari puncak
Saat turun dari puncak, tetap jaga kebersamaan dan jarak dengan teman anda. Perbedaan jarak bisa berubah menjadi malapetaka jika kita tidak berhati-hati saat turun dari puncak. kabut tebal tiba-tiba muncul dan menutup jarak pandang. Jangan sampai salah mengambil jalur. Jika anda menyimpang sekian derajat dari jalur yang benar dan terus bergerak lurus turun dari puncak, penyimpangan tersebut akan semakin besar.

H. Niat dan berdo'a untuk bertahan hidup
Ketika tersesat, jangan memaksakan diri untuk menemukan jalur yang benar, khususnya ketika hari menjelang gelap. Gunakan waktu malam untuk beristirahat.

(diteruskan dari: hutantropis.com)

Saturday, May 24, 2014

Pict. (Backpacker Sukabumi) 30 Meter Dalam Perut Bumi - Goa Buniayu, Sukabumi